Watyutink.com- Upaya mencapai kedaulatan energi terganggu justru oleh pernyataan pemerintah sendiri. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pada minggu lalu (10/12/2019) menyatakan bahwa Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak di negeri ini.
Di lain sini, dia menyatakan pengangkatan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok oleh Presiden Joko Widodo menjadi Komisaris Utama Pertamina merupakan sosok yang tepat untuk mengawasi perusahaan negara tersebut, terlebih saat ini Pertamina dirasa bukan BUMN yang sehat.
Pernyataan LBP bahwa Pertamina sebagai sumber kekacauan di negeri ini patut diminta klarifikasinya, mengingat Pertamina adalah salah satu BUMN utama yang mengelola dan menyediakan energi bagi rakyat.
Keberadaan dan fungsi Pertamina menguasai cabang produksi yang menyangkut kepentingan hidup orang banyak dijamin oleh konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu rakyat berhak meminta pemerintah dan manajemen Pertamina untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas konstitusional tersebut.
Jika LBP mengatakan Pertamina adalah sumber kekacauan paling banyak, maka hal ini tidak bisa diartikan lain bahwa selama ini pengelolaan Pertamina bermasalah dan merugikan rakyat. Kerugian dapat berupa pelayanan tidak optimal, harga produk lebih mahal, dan dividen kepada negara rendah.
Ditambah lagi produksi dan cadangan migas turun, kilang BBM dan petrokimia tidak terbangun, ketahanan energi nasional turun, mafia migas bergentayangan, hingga defisit perdagangan dan neraca berjalan yang bertambah besar. Apakah hal-hal seperti ini masih kerap terjadi?
Pernyataan LBP menunjukkan bahwa penyebab utama kekacauan berasal dari internal Pertamina, terutama direksi pada lapis pertama dan jajaran manajemen pendukung pada lapis kedua dan ketiga. Apakah mereka pihak yang paling pantas digugat untuk bertanggung jawab?
Apalagi jika manajemen internal tersebut bekerja sama dengan mafia migas yang membuat pengelolaan Pertamina menjadi semakin kacau. Rakyat tentu pantas menggugat dan menuntut ganti rugi kepada Pertamina atas berbagai kerugian tersebut. Siapa saja yang bisa diminta pertanggung jawabannya?
Namun Pertamina bukan lembaga otonom tanpa kontrol. Dia atas manajemen Pertamina ada pejabat-pejabat eksternal yang menjadi komisaris, sebagai pengawas dan pengendali perusahaan. Pertamina juga berada di bawah kendali Menteri BUMN, Menteri ESDM hingga Presiden RI. Apakah mereka juga layak digugat dan diminta pertanggung jawabannya atas kekacauan pengelolaan Pertamina?
Jika manajemen Pertamina telah menimbulkan kekacauan, minimal sejak 2-3 tahun lalu, lantas mengapa pemerintah tidak melakukan perbaikan? Bukankah para menteri terkait dan presiden bisa mengganti manajemen Pertamina setiap saat? Mengapa pemerintah membiarkan para subordinate ‘pengacau’ tetap bercokol di Pertamina? Bagaimana pemerintah membereskan masalah ini?
Apa pendapat Anda? Watyutink?
LBP dulu membela reklamasi dan proyek Meikarta habis-habisan, namun pada akhirnya yang dibela menjadi kacau, sehingga pernyataannya bahwa Pertamina sebagai sumber kekacauan pada akhirnya yang akan terjadi sebaliknya. Pernyataan LBP sering bertolak belakang dengan kejadian sebenarnya. Siapa tahu yang terjadi di Pertamina adalah yang sebaliknya, dari sumber kekacauan menjadi sumber kedamaian.
Yang terjadi justru Pertamina menjadi tempat menyembunyikan kekacauan. Kalau Pertamina mengumumkan berapa utang BBM yang dilakukan pemerintah, TNI maka akan timbul kekacauan. Lalu meminta DPR memasukkannya ke dalam APBN, maka batas maksimal utang terlampaui. Hal ini akan membuat presiden di-impeachment.