Watyutink.com - Pembahasan mengenai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mendapatkan sorotan banyak pihak. Ada beberapa pasal dalam draf RUU tersebut yang menimbulkan kontroversi sehingga mengundang reaksi.
Menurut pemerintah, upaya menciptakan omnibus law itu semata-mata untuk memecahkan berbagai macam persoalan yang selama ini menjadi penghambat pertumbuhan lapangan kerja.
Kebutuhan lapangan kerja saat ini sangat tinggi. Angka pengangguran di Indonesia pada tahun lalu sudah lebih dari 7 Juta orang. Namun banyak pihak menyoroti dampak dari pencetusan Omnibus law ini, salah satunya adalah akan menguntungkan pihak pengusaha dan merugikan pihak buruh.
Pemerintah menegaskan bahwa Omnibus Law disusun untuk menyederhanakan dan menyelaraskan berbagai aturan yang selama ini tumpang tindih sehingga merusak iklim investasi dan memperlemah daya saing Indonesia. Namun apakah pasal-pasal di dalamnya menjamin bahwa tujuan itu dapat dicapai dengan baik?
Dalam omnibus law pemerintah ingin membuat peraturan ketenagakerjaan yang akan meningkatkan daya saing usaha dan memperbaiki iklim investasi. Namun muncul kekhawatiran dengan pembuatan peraturan baru ini justru merugikan para pekerja terutama yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan para pekerja.
Sedikitnya ada tiga poin yang menjadi kekhawatiran pada pekerja yakni masalah penentuan sistem pengupahan, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Alih-alih memperbaiki iklim investasi, rencana aturan tersebut bakal menimbulkan masalah ketenagakerjaan.
Di sisi penciptaan lapangan kerja, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang bermuara pada keterkaitan sisi penawaran dan sisi permintaan tenaga kerja.
Apakah omnibus law nanti dapat mengatasi masalah yang ada antara lain ketidaksesuaian lapangan kerja (employment mismatch) antara kompetensi yang dihasilkan oleh dunia pendidikan dan kompetensi yang dibutuhkan oleh industri baik secara vertikal maupun horizontal?
Organisasi Buruh Internasional memprediksi pada periode 2006 - 2016, total ketidaksesuaian lapangan pekerjaan secara vertikal berada di 37 persen tiap tahunnya. SDGs Center Universitas Padjajaran mengungkapkan dalam studinya bahwa tingkat ketidaksesuaian lapangan kerja pada tenaga kerja usia muda khususnya generasi milenial cukup tinggi dan bahkan lebih tinggi daripada generasi-generasi sebelumnya.
Dalam studi tersebut terungkap sebanyak 45,58 persen milenial bekerja pada lapangan pekerjaan yang lebih rendah kualifikasinya dari latar belakang pendidikan yang dimiliki (over education) dan sekitar 16,85 persen milenial bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan atau kompetensi yang dimiliki (unrelated employment). Apakah omnibus law dapat mengatasi masalah struktural ini juga?
Apa pendapat Anda? Watyutink?