Sumber Foto: suaramerdekat.com
18 January 2018 10:00Saat ini, Indonesia terkesan tengah meniru pembangunan China dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran. Tetapi lupa, China sebelum membangun infrastruktur besar-besaran, terlebih dahulu membangun sektor pertaniannya, secara all-out meningkatkan produktivitas petaninya. Sektor pertanian menjadi fondasi dari kuatnya perekonomian China saat ini. Bukan hanya China, semua negara yang berhasil menggapai teknologi tinggi tanpa kehilangan jati-diri, awalnya melandaskan ekonomi mereka pada sektor pertanian.
Sehingga saat ini kita bisa lihat, produk buah-buahan, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan bahan pangan lainnya, baik dari China, Jepang, Amerika maupun negara maju lainnya membanjiri pasar kita. Setelah mereka mampu mengekspor produk pertaniannya ke seluruh dunia, baru mereka mengembangkan sektor lain, termasuk infrastruktur. Sementara kita tidak. Pembangunan infrastruktur digenjot, sedangkan pertanian diacuhkan dan petani dipinggirkan. Ini ahistoris!
Melihat cara menyelesaikan persoalan tingginya harga beras saat ini dengan impor, menunjukkan para pemimpin kita sekarang tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang bagaimana membangun pertanian. Yakni, mengembalikan tujuan dari pembangunan pertanian dengan menempuh langkah-langkah yang terukur dan komprehensif dengan membangun dan mendaya-gunakan instrumen penunjang yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Cara berfikir yang utuh di sektor pertanian ini merupakan langkah revolusioner yang harus dilakukan secara serentak: revolusi benih dan benur, revolusi budidaya, dan revolusi pengolahan/peningkatan nilai-tambah.
Dahulu saat kita mengejar swasembada beras – at all cost, sehingga berhasil ber-swasembada, yang kemudian membuat perekonomian kita kuat dan berjaya. Pertumbuhan ekonomi nasional begitu tinggi. Mata dunia tercengang melihat keberhasilan kita saat itu yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan rakyat di pedesaan.
Waktu itu, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian, terus berfikir bagaimana memiliki dan mempertahankan stok beras nasional melalui peningkatan produktivitas petani. Saat itu, Bulog berperan secara efektif mengelola stok beras dan pangan nasional.
Celakanya, pasca reformasi, justru peran Bulog seperti dikebiri. Masuknya IMF pada awal reformasi telah mengubah skema pangan nasional. IMF meliberalisasi sektor pertanian dan pasar pangan nasional. Semua subsidi dan insentif di sektor pertanian dihapuskan. Lalu, pasar bahan pangan dibikin sedemikian rupa agar produk bahan pangan impor bisa bebas masuk ke Indonesia.
Melalui lobi-lobi konglomerat importir dalam negeri, bahan pangan impor pun membanjiri pasar lokal. Produksi petani lokal sengaja diadu dengan produk pertanian impor yang harganya jauh lebih murah. Karena subsidi dan insentif dihapuskan, yang membuat ongkos produksi petani pun menjadi tinggi, dan produk pertanian lokal harganya tidak kompetitif lagi. Sementara, negara-negara maju, selalu menyediakan subsidi kepada ekspor bahan pangan dan pertaniannya.
Hal ini diperparah dengan kekurang-pahaman pemerintah atas sektor pertanian. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan tidak sepenuhnya berpihak kepada petani dan sektor pertanian lokal. Kalau hal ini terus terjadi, lama-kelamaan pertanian kita akan mati, dan petani kita akan berhenti menjadi petani karena dianggap tidak menguntungkan dan menjamin masa depan, lalu bekerja di sektor lain. Swasembada hanya akan menjadi pepesan kosong. Dan kita tidak akan pernah lagi memiliki kedaulatan pangan.
Sektor pertanian kita bisa selamat, kalau mau mengubah paradigma pertanian kita menjadi people driven development. Semua kebijakan yang disusun, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit maupun diambil alih, ditentukan oleh kemampuan dan kebutuhan rakyat yang berkembang secara dinamis.
Dahulu saya pernah aktif memprakarsai pendirian Komisi Kerja Tetap (KKT) Agro Industri melalui SKB Mentan dan Memperin. Tujuannya meningkatkan produktivitas petani melalui agro industri sebagai kelanjutan pertanian, bukan derivasi industri. Dengan agro industri seperti itu, pertanian menjadi sektor yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga mampu menunjang masa depan petani di pedesaan. Mengapa bukan konsep KKT Agro Industri saja yang dijalankan? (afd)
Kebijakan impor beras sebesar 500.000 ton di awal tahun ini yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menuai polemik. Perhatian publik menjadi ramai karena impor beras adalah langkah yang kontraproduktif jika dibandingkan dengan janji menteri pertanian untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada beras dalam tempo setidaknya 3 (tiga) tahun menjabat sebagai menteri pertanian.
Presiden Indonesia Jokowi pernah di awal kepemimpinannya pernah mengatakan, ada swasembada beras dalam tiga tahun. "Kalau tidak, Menteri Pertanian saya copot. Tapi saya yakin target ini bisa tercapai," kata Jokowi saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa, 9 Desember 2014.
Namun nyatanya sudah tahun lebih Amran Sulaiman menjabat sebagai Menteri Pertanian belum mampu membuktikan janjinya, tetapi selalu mengklaim sukses menjalankan program swasembada dan membanggakan diri di beberapa pertemuan. Saat kunjungan kerja November 2017 di Maros, Sulawesi Selatan, dia mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara swasembada dan pengekspor beras ke negara lain. Bahkan dengan lantang mengatakan bahwa Indonesia akan dikunjungi negara luar untuk belajar tentang swasembada beras.
Nah, hadirnya kebijakan impor beras diawal tahun menjadi kado pahit di tengah pelbagai klaim kesuksesan Menteri Pertanian.
Ketika publik mempertanyakan kebijakan impor dan menaruh curiga ada permainan di balik kebijakan ini adalah hal yang sangat wajar. Tetapi, pelbagai klarifikasi dan manuver yang dilakukan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam merespons situasi malah menimbulkan kekecewaan.
Pertama, Menteri Pertanian merespons bahwa kebijakan impor adalah bentuk kecintaan pemerintah terhadap rakyatnya. Bahasa ini menunjukkan ketidakseriusan menteri mengurus pertanian dan tentu sangat mengecewakan karena impor beras secara psikologis meragukan kemampuan petani kita sebagai "produsen" terdepan. Karena faktanya, justru stok beras menurut petani masih sangat memadai. Ini dibuktikan dengan banyaknya daerah yang menolak impor beras, termasuk Sulawesi Selatan.
Kedua, menteri mengatakan bahwa impor beras ini adalah untuk stok kebutuhan industri bukan untuk konsumsi. Padahal di kesempatan lain terlanjur mengatakan bahwa impor 500.000 ton adalah untuk konsumsi selama 7 (tujuh) hari saja. Ini adalah sikap seorang menteri yang tidak konsisten dan kelihatan sangat miskin data.
Ketiga, upaya klarifikasi yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan dengan "pengawalan" dari BPS dan Bulog adalah bentuk kepanikan yang luar biasa atas respons publik yang mencurigai ada permainan antara importir dengan pemerintah. Sebab, di awal proses impor Menteri Perdagangan tidak menyebutkan akan melibatkan Bulog. Padahal secara aturan, Buloglah yang sangat relevan atas kebijakan ini. Kehadiran BPS dan Bulog adalah upaya untuk melegitimasi kebijakan yang terlanjur offside.
Keempat, impor dengan alasan kekurangan stok beras adalah bentuk ketidakberesan Menteri Pertanian merapikan produksi Gabah Kering Giling (GKG).
Dari hitung-hitungan matematisnya, bukankah dengan luas lahan persawahan kita yang mencapai 16 juta hektare (data BPS), adalah hal yang sangat mudah untuk memproduksi GKG demi menutupi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia. Karena cukup memaksimalkan produksi 5 - 6 ton GKG per hektare saja, maka kebutuhan beras untuk lebih kurang 1 (satu) liter beras setiap penduduk Indonesia per harinya dapat diwujudkan dan itu sudah lebih dari cukup.
Dengan demikian, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan sebaiknya saling koordinasi dan berbicara dengan data yang jelas dalam mengeluarkan kebijakan. Jika tidak, miskinnya data dan ketidakakuratan data menteri akan merusak sistem pengelolaan negara ini. Dan yang terpenting, dalam pengambilan kebijakan adalah menteri boleh salah, tapi tidak boleh bohong. (afd)