Salah satu cara mengatasi kesenjangan sosial adalah melalui sistem perpajakan progresif dan bantuan sosial (transfer payment) agar terjadi redistribusi pendapatan dari kelompok berpendapatan tinggi (kaya) ke kelompok berpendapatan rendah (miskin).
Sayangnya, sistem pajak progresif yang berlaku di Indonesia (hanya) dikenakan pada penghasilan yang berasal dari gaji / salaris. Artinya, para pekerja harus bayar pajak penghasilan progresif. Semakin besar penghasilannya, semakin besar tarif dan nominal pajak yang harus dibayar. Tarifnya sebesar 5 persen, 15 persen, 25 persen, dan 30 persen. Sampai di sini tidak ada masalah.
Bos dari para karyawan itu adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham. Sumber penghasilan pemegang saham (selain gaji jika ada rangkap jabatan) adalah dari dividen yaitu keuntungan yang dibagikan kepada pemilik modal. Penghasilan dividen ini hanya dikenakan tarif pajak flat (dan final) 10 persen.
Flat artinya, berapapun penghasilannya kena tarif pajak yang sama, yaitu 10 persen. Padahal jumlah dividen bisa jauh lebih besar dari penghasilan gaji dengan tarif tertinggi 30 persen. Dividen umumnya merupakan penghasilan bagi kelompok kaya dan super kaya. Tetapi, hanya dikenakan pajak 10 persen, jauh lebih rendah dari tarif tertinggi pajak penghasilan yang berasal dari gaji. Padahal masih banyak sumber penerimaan lain dari kelompok kaya.
Tarif pajak flat dan final tidak dapat berfungsi sebagai alat redistribusi pendapatan karena semua pihak memberi kontribusi sama besar. Hal ini tentu saja dirasakan tidak adil dilihat dari filosofi perpajakan “yang mampu membayar lebih besar”.
Pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) / konsumsi kepada konsumen pada dasarnya membebankan kelompok berpendapatan rendah, karena tarif pajak efektif (terhadap penghasilan netto) akan lebih besar dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi.
Sebagai contoh, Tuan A punya penghasilan setelah pajak Rp 50 juta setahun dan Tuan B punya penghasilan Rp 500 juta setahun setelah pajak. Mereka belanja barang kena pajak sebesar Rp 10 juta dengan PPN 10 persen atau Rp 1 juta. Bagi Tuan A, Pajak PPN Rp 1 juta berarti 2 persen dari penghasilannya yang Rp 50 juta. Tetapi, bagi Tuan B, pajak PPN Rp 1 juta tersebut hanya 0,2 persen dari penghasilannya yang Rp 500 juta. Jadi, di dalam komponen PPN yang diterima pemerintah, kelompok berpendapatan rendah membayar tarif pajak efektif terhadap pengfhasilannya lebih tinggi dari kelompok berpendapatan tinggi.
Penerimaan pajak yang masih jauh dari target akibat kebijakan perpajakan yang salah (dan tidak adil). Kelompok kaya mendapat fasilitas tarif pajak yang cukup rendah. Yang harus dipahami, redistribusi pendapatan dan transfer payment seharusnya tidak tergantung dari jumlah penerimaan pajak, tetapi merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang tercermin di anggaran belanja pemerintah secara keseluruhan, misalnya alokasi belanja untuk pendidikan, untuk kesehatan, dan seterusnya.
Ketidakadilan pajak saat ini terletak pada dua sisi. Pertama, ada beberapa jenis penghasilan bagi kelompok kaya kena tarif pajak relatif rendah, atau bersifat degresif (lawan dari progresif). Hal ini hanya bisa diatasi dengan mengubah sistem perpajakan menjadi lebih berkeadilan dengan menaikkan tarif pajak menjadi lebih adil.
Kedua, meskipun tarif pajak relatif rendah, untuk kelompok kaya khususnya pengusaha yang masih berusaha tidak bayar pajak, harus ada law enforcement dengan denda yang tinggi, agar ada efek jera bagi penggelap pajak. (pso)
"No Taxation Without Representation" adalah slogan yang diucapkan oleh pendeta Old West Church, Jonathan Mayhew, pada 1750. Slogan itu menolak ekstensifikasi pemungutan pajak oleh Kerajaan Inggris terhadap penduduk koloni Amerika Utara. Waktu itu hanya meliputi 13 negara bagian pendiri Amerika Serikat (AS). Sejarah mencatat, slogan itu menjadi pemicu perang kemerdekaan AS dari rezim monarki Inggris.
Indonesia sudah mengenal administrasi modern pajak sejak zaman Hindia Belanda. Sebelumnya di seluruh dunia sudah ada upeti kepada raja dan sultan. Ada pameo, hanya dua hal yang pasti di dunia fana: kematian dan pajak.
Masalah utama Indonesia adalah melepaskan diri dari mimpi buruk pungutan bea cukai dan pajak yang sewenang-wenang. Negara, pemerintah, dan birokrasi selalu di pihak hegemon yang dominan. Rakyat jelata hanya bisa “nrimo” diperlakukan apa saja oleh birokrat.
Dalam konteks Indonesia, nuansa korupsi dan praktek KKN bermula dari sejarah penguasaan oleh VOC selama hampir 2 abad (1602-1799). VOC bangkrut karena korupsi, dan rezim Hindia Belanda menggantikan meski hanya mengandalkan korporasi swasta dan memungut pajak bisnis korporasi swasta sampai 35 persen.
Setelah merdeka, Indonesia mereformasi UU Perpajakan kolonial melalui pelbagai tahapan pengampunan pajak. Kabinet Dwikora Bung Karno melaksanakan pengampunan pajak pertama tahun 1964 oleh Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Tan Kiem Liong alias Mohamad Hasan dari NU.
Pengampunan kedua, 20 tahun kemudian, oleh Radius Prawiro tahun 1984. Setelah itu Bea Cukai dikontrakkan kepada SGS selama 10 tahun karena Soeharto yang muak dengan aparatur bea cukai karena menghambat ekspor non migas. Langkah yang pasti dikecam di masa sekarang sebagai anti Nasionalis.
Pada 2006, diterapkan kebijakan tanggung berupa sunset policy. Baru pada 2016 berlaku Tax Amnesty atau pengampunan pajak yang ketiga oleh pemerintahan Joko Widodo.
Jika sekarang dikeluhkan tax ratio dan kesenjangan, diperlukan keiklhasan dua pihak untuk mengubur saling curiga. PDBI mengusulkan istilah para pembayar pajak diganti dari “wajib pajak” menjadi” warga pajak”.
Kembali ke “Global non Taxation Without Representation”. Dalam memungut pajak, hak demokrasi dan hak asasi warga pajak harus dihormati. Birokrat tidak lebih suci dari warga pajak. Berilah juga penghargaan.
Agar orang bangga membayar pajak, PDBI mengusulkan untuk menghidupkan kembali tradisi pengumuman pembayar pajak corporate dan perorangan terbesar seperti era Orde Baru (Bambang Trihatmojo dan Hutomo Mandala Putra tercatat sebagai pembayar pajak tertinggi ke-8 dan ke-10 untuk pembayaran SPT 1996). Juga kepada UKM dan perorangan kelas menengah yang tertib pajak.
PDBI tengah melobi pelbagai pihak untuk meluncurkan AWASI (Asosiasi Warga Pajak Seluruh Indonesia), mengacu kepada National Taxpayers Union ( Serikat Pembayar Pajak AS) yang juga tergantung pada World Taxpayers Association. Tujuannya untuk memelopori kembali era keterbukaan informasi pajak Indonesia.
Ini perlu agar demokrasi semakin kuat dan birokrasi semakin kompetitif, dan high cost ICOR Indonesia yang sekarang 6,4 tidak bertambah buruk. Sehingga seluruh komponen Indonesia Inc. bisa setara dengan pesaing kita. Tentunya pungli harus diperangi, kredit dan pajak juga harus lebih murah dari negara tetangga agar tidak mandek dalam perlombaan pembangunan.
Diperlukan pendekatan lain tentang pemerataan, diperlukan kreatifitas dalam pengelolaan dua jenis BPJS, merancang program CSR dan atau kompensasi regulasi licensing secara “pro bono publica” seperti Simpang Susun Semanggi secara lebih kreatif di pelbagai bidang relasi birokrasi bisnis secara saling menguntungkan. (pso)
Pajak itu pada hakikatnya adalah transaksi antara rakyat dengan pemerintah. Rakyat membayarkan sebagian dari penghasilan dan kekayaannya kepada pemerintah, sementara pemerintah melayani kebutuhan rakyat, menjamin keamanan, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraannya.
Agar pelaksanan transaksi berlangsung tertib, jujur, adil, dan transparan, maka harus dirumuskan dalam suatu falsafah perpajakan yang menganut asas-asas kepercayaan kepada masyarakat, asas kegotongroyongan nasional dan asas keadilan yang terwujud dalam keseimbangan hak dan kewajiban termasuk keamanahan dalam mengelola uang pajak dari masyarakat. Juga asas ketertiban dan kepastian hukum serta asas keadilan, kesamaan, tapi juga sekaligus perataan beban perpajakan.
Bagi Indonesia yang berasaskan Pancasila dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, penerapan asas-asas perpajakan tersebut menjadi sangat gamblang dan mudah dilihat oleh masyarakat kebanyakan. Misalkan apakah wajar, rakyat yang telah membayar pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sesungguhnya tidak adil tersebut dibenturkan dengan kenyataan bahwa ternyata sekitar 80 persen aset nasional dimiliki asing. Satu persen orang kaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional dan 10 persen persen orang kaya menguasai 75,7 persen. Artinya 90 persen rakyat Indonesia hanya menguasai 24,3 persen kekayaan nasional. Sungguh ironis!
Mengapa PPN sesungguhnya tidak adil? Betul contoh yang dikemukakan watyutink.com, karena kuli pelabuhan harus membayar PPN air mineral yang sama yaitu 10 persen dari harga yang dibelinya, sama dengan yang dibayar seorang konglomerat. Padahal asas keadilan dalam sistem perpajakan itu seharusnya yang lebih kaya membayar pajak lebih besar.
PPN memang paling mudah memungutnya, sekaligus juga pontensial untuk disalahgunakan aparat. Hampir sebagian besar rakyat tidak tahu dan tidak sadar bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi wajib pajak dengan membayar PPN.
Tetapi ketidakadilan yang tidak dipahami masyarakat luas itu, bisa dimaklumi asalkan pemerintah memberikan kompensasi yang sepadan, dan bertanggungjawab dalam pengelolaannya, yang kemudian dikembalikan ke masyarakat luas bagi sebaik-baiknya pelayanan masyarakat dan sebesar-besarnya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Bukan untuk membayar aparat dan wakil rakyat yang korup, arogan, dan semena-mena. Bukan untuk membayar hutang yang tidak jelas pemanfaatannya bagi rakyat.
Potensi penerimaan pajak di Indonesia masih sangat besar. Salah satu cara menggalinya adalah dengan penegakan hukum. Namun jangan terkesan seperti berburu di kebun binatang. Dari besaran tax ratio yang hanya sekitar 10,5 persen atau terendah dibanding rata-rata tax ratio dunia sekitar 15 persen, kita bisa mengetahui potensi penerimaan pajak yang masih bisa ditingkatkan, terutama kepada perusahaan besar yang mengeksploitasi sumber daya alam, dan bukan dengan mengobok-obok Wajib Pajak menengah bawah bahkan para orangtua yang sudah tidak produktif, dan juga bukan dengan mau mengambil gampangnya dengan memperluas cakupan barang dan jasa yang harus dikenai PPN. Bahkan terhadap komoditi-komoditi yang bermanfaat bagi pendidikan dan mencerdaskan bangsa serta moda angkutan umum, seyogyanya bisa dibebaskan dari PPN.
Kemudahan dan pemberian keringanan dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah diantisipasi sejak diundangkan pertama kali dalam UU Nomor 12 Tahun 1985 (27 Desember 1985), terutama kepada para pensiunan/purnawirawan serta orang-orangtua yang sudah tidak produktif. (pso)