Sumber Foto: Kompas.com
01 October 2017 10:00
Gadget itu jembatan abad 21. Nah, anak-anak punya jembatan yang direct, jaraknya pendek. Generasi X punya jalan kesitu, tapi jauh di bawah otak anak-anak itu. Hardware kita tidak sampai. Otak anak-anak ini Processor Intel Core i9, sedang kita Pentium 2 Processor.
Anak-anak lahir dengan kecanggihan visual dan akses internet cepat. Beda anak-anak zaman dulu. Itu bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, jangan gunakan nilai “benar” atau “salah”. Nah, bayangkan anak-anak harus menyerahkan keputusan besar pada orangtua yang kemampuannya terbatas.
Ada yang salah di dunia ini. Saya menyebut sebagai ketidakadilan bagi anak-anak. Mereka seharusnya mendapatkan materi, gizi, dan substansi teknologi yang sesuai. Masalahnya, orangtua tidak mampu, cenderung melihat game dengan pesimis. Padahal teknologi itu keniscayaan, tidak bisa dihindari. Orangtua yang berusaha menghalangi dan mengatur ketat penggunaan gadget sama dengan menihilkan hak anak-anak.
Mereka lebih cerdas gunakan gadget, memahami bagaimana komputer bekerja, familiar dengan produk berbentuk visual dan kreatif. Kita masih setengah mati untuk memahami. Kalau orangtua menyadari itu, mereka memberi sesuatu yang subtansial dengan zaman. Tak cuma mengadili plus-minusnya saja, tapi membekali anak-anak dengan teknologi yang sesuai zamannya.
Nah, mindset orangtua harus diubah, tidak perlu takut game itu negatif. Game menempatkan mereka dari sisi konsumsi (users). Itu nggak apa-apa. Tapi mengubah mindset dari consumer jadi producer itu belum ada yang mampu. Orangtua/Gen X seperti kita nggak mampu, guru dan lingkungan nggak mampu. Orangtua bilang, “beli ipad/tablet” tapi lupa barang itu harus dipahami sifatnya, coba baca buku manualnya. Bagaimana mengenalkan literasi digital pada anak-anak. Punya tablet/ipad, tapi literasi digital nggak diajarkan. Karena orangtua nggak memahami literasi digital.
Beritagar.id menulis, lebih 50 persen anak-anak mengakses internet untuk game. Terus itu negatif? Coba tanya orangtuanya mengakses apa? Kalau mengakses Detik.com ya mohon maaf, gimana anaknya paham teknologi. Pengetahuan literasi digital itu lebih penting untuk orangtua dan guru, kapan mereka familiar dengan produk teknologi. Anak-anak nggak usah diajari, mereka bisa sendiri dan cepat beradaptasi dengan teknologi. Orangtua dan guru merupakan yang menciptakan lingkungan mereka. Kebayang nggak, kalau orangtua gunakan smartphone untuk narsis. Seolah facebook dibuat untuk orangtua mereka. Di Amerika saja tidak begitu-begitu amat.
Di sana kesadaran nilai-nilai diterapkan dan lainnya. Saya nggak mau bilang disana lebih baik tapi internet adalah produk abad 21 yang membutuhkan literasi sebagai backbone-nya. Ketika internet datang ke Indonesia, unsur literasi itu belum cukup, jadilah seperti sekarang. Baca buku aja nggak, gimana bisa mengerti internet.
Tahu-tahu KPAI memblokir. Internet adalah kebutuhan di zaman mereka. Itu sangat tidak adil bagi anak-anak tidak bisa mengakses. Itu gila, gak bisa. Jadi kita seperti salah zaman. Orangtua sadar hidup di zaman ini, yang perlu dilakukan mengubah mindset anak-anak dari sekedar consuming jadi producing. Orangtua terbatas dalam teknologi, sekolah mengajarkan cuma Microsoft Office. Guru tidak mengajarkan bagaimana berpikir komputer dan berpikir komputasi. Nah, komputasi sangat menekankan matematis dan logis, anak diajarkan untuk runtut berpikir.
Ada kegagalan berpikir logis dan tercermin dalam menyikapi anak di abad 21. Anak-anak ini akan dibekali apa nantinya? Kalau sekarang ketakutan, kita tidak bisa menguasai hidup mereka seluruhnya. Parahnya, para intelektual dan lainnya menyalahkan teknologi. Kasus itu terjadi ketika saya mengenalkan Coding pertama kali ke sekolah, saya diomeli, “gimana neh teknologi...’’ intinya teknologi merusak kenyamanan hubungan murid dan guru yang telah terbangun. Orangtua harus berubah mindset-nya, memperbaiki metodenya. Kalau tidak, masyarakat, orangtua dan guru akan dilibas zaman. Coba ubah mindset dari producing ke consuming. Kita tak bisa menutup mata hidup di abad 21. (fai)
Selama ini cara menangani kekerasan di sekolah seperti memadamkan api, tetapi tidak berangkat dari akar permasalahannya, sehingga kekerasan di sekolah tidak pernah berhenti bahkan semakin masif dan mengerikan.
Plan Indonesia merilis hasil penelitiannya tahun 2014 yang menemukan fakta bahwa 7 dari 10 anak Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah, dan 34 persen korban tidak pernah melaporkan kepada orang dewasa, baik di sekolah maupun di rumah.
Oleh karena itu, penanganannya butuh sinergi seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari kepala sekolah, karyawan TU, guru, siswa, orangtua, Komite Sekolah, dan Dinas Pendidikan.
Perlu persepsi yang sama dari seluruh stakeholder untuk membangun Sekolah Ramah Anak (SRA). SRA tidak hanya gedung fisik yang aman dan kantin yang sehat, namun juga harus mewujudkan zona aman dan nyaman bagi anak. Aman dan nyaman itu, di antaranya, sekolah harus zero perundungan atau kekerasan dalam segala bentuk, baik kekerasan verbal, kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan financial.
Adapun langkah yang dapat dilakukan sekolah untuk zero kekerasan adalah:
(1) Membangun sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi, misalnya dengan barang bukti berupa rekaman cctv.
(2) Mengadakan kelas-kelas parenting, yang tidak hanya bicara nilai anak tetapi juga pemahaman tentang bahayanya bullying bagi tumbuh kembang jiwa dan otak seorang anak.
(3) Mengupayakan adanya rehabilitasi atau pemulihan bagi korban kekerasan untuk menghindari korban menjadi pelaku ketika sudah jadi siswa senior. (fai)