dan polisi. Si pelaku terlihat mencekik leher seorang anak kecil sambil menghunus pisau ke leher si anak. Video itu disebar oleh entah siapa awalnya disertai keterangannya kejadiannya berlangsung di Tangerang Selatan. Masalahnya, kebanyakan video itu hoaks alias kabar bohong. Videonya betulan ada, tapi keterangannya cuma rekaan. Ada juga foto-foto anak kecil yang organnya diambil disebar di media sosial dan ruang ngobrol online sebagai korban penculikan. Lagi-lagi kebenaran foto-foto itu diragukan. Ada foto hasil rekayasa digital, ada foto yang kejadiannya di luar Indonesia. Lantas, apa tujuan dari penyebaran kabar sumir penculikan anak ini? Sekadar menyebar rasa takut di masyarakat? Tidak ada asap, tanpa api. Kabar penculikan anak benar terjadi. Sabtu (27/10/2018) lalu, Kompas memberitakan upaya penculikan dialami dua siswa SD Negeri di Ulujami, Jakarta Selatan. Modusnya, orang tak dikenal menawarkan
memperlihatkan game di handphone pada anak. Meski pelaku tak berhasil melakukan aksinya, namun tak tertangkap pula.
Baca Juga
hanya disuruh nonton televisi atau main handphone berlama-lama. Adilkah ini buat si anak? Efek lain, akibat paranoia yang berlebihan ini muncul ancaman konflik horizontal. Orang tak dikenal mudah dicurigai. Bahkan orang berkebutuhan khusus, tak waras atau pengemis kerap dicurigai sebagai calon penculik. Akibatnya, keselamatan mereka rentan oleh amuk massa yang main hakim sendiri. Maraknya penyebaran video dan kabar penculikan anak yang kebanyakan hoaks serta paranoia massa ini membuktikan negara tak hadir. Orangtua berhak melindungi anaknya dari penculikan dengan melarang anak main di luar rumah. Namun, bukankah mula-mula negara yang harus menyediakan rasa aman bagi warganya? Andai negara telah hadir memberi rasa aman, konten hoaks penculikan anak mustahil dipedulikan. Jadi, siapa yang salah di sini? Orangtua yang bersikap berlebihan atau negara yang absen? Apa pendapat Anda? Watyutink?
Maraknya isu penculikan ini saya kira suatu peristiwa yang membuat orang jadi paranoid. Karena banyak video dan gambar-gambar yang disebar adalah hoaks. Misalnya, video yang disebar bukan penculikan, tapi dibilang penculikan.
Komnas Perlindungan Anak menghimbau kepada seluruh orangtua harus waspada terhadap berita-berita seperti ini. Jangan anggap kabar yang tersebar di media sosial itu sebagai kebenaran, apabila belum ditemukan (faktanya) dan dinyatakan oleh aparat penegak hukum bahwa itu berita yang sungguh-sungguh.
Karena ada beberapa video yang peristiwanya diganti judulnya. Namun, Komnas Perlindungan Anak meminta masyarakat tetap waspada terhadap isu-isu atau informasi yang ada di media sosial. Masyarakat harus berhati-hati untuk jangan mudah mempercayai berita tersebut. Supaya tidak merugikan diri sendiri.
Jadi, Komnas Perlindungan Anak meminta sekali lagi masyarakat menunggu kabar dari kepolisian, apakah memang sudah diketemukan telah terjadi penculikan atau ada organ tubuh anak hasil penculikan yang diperjual-belikan. Karena bila ada yang ditangkap oleh polisi, bukan berarti mereka penculik. Bisa saja dari peristiwa lain.
Penculikan adalah peristiwa yang sulit dibendung. Bukan hanya oleh negara, tapi bahkan oleh orangtua atau anggota keluarga yang sehari-hari bersama si anak. Maka dari itu, kami hanya bisa mengatakan waspada terhadap informasi-informasi yang sekarang sedang terjadi di media sosial. Selain itu, kita tentu harus bisa memilah peristiwa-peristiwanya, benar atau tidak.
Kalau nanti sudah dinyatakan ada bukti kasus penculikan anak oleh pihak berwenang yang secara hukum sah ada pelaku dan sebagainya, baru itu bisa dipercayai. Kita saat ini tidak bisa membendung informasi mana yang bohong, mana yang tidak. Katakanlah, tokoh yang dikenal sebagai aktivis HAM saja membuat berita hoaks beberapa waktu lalu.
Motifasi pembuat konten isu penculikan yang viral itu ingin membuat orang resah saja. Sekarang orang gampang saja membuat konten macam begitu. Orang itu mungkin orang yang frustasi terhadap sesuatu, kemudian ia mengutak-atik handphone dan mengolah (foto/video) macam-macam untuk jadi materi isu penculikan anak.
Ini terjadi sebagai dampak tsunami teknologi. Ini terjadi di mana, di seluruh dunia. Teknologi bisa berguna, bisa tepat bila digunakan sebagaimana mestinya.
Dampak dari isu ini semua pihak dirugikan. Orangtua yang karena paranoid, jadi bertindak berlebihan mengawasi anak. Sementara anak bisa kehilangan hak bermainnya karena sikap paranoid orangtua. Makanya, bila dikatakan negara harus hadir, ya negara harus hadir melindungi warganya. Tapi terutama juga, orangtua jadi filter pertama informasi yang viral itu layak dipercaya atau tidak. Itu yang pas. (ade)