Untuk pertumbuhan ekonomi pada 2019 ini, proyeksi Indef tetap pada angka 5 persen-an. Belum ada perubahan atau revisi. Hal itupun sebetulnya proyeksi yang jauh lebih rendah atau realistis daripada angka yang ditawarkan pemerintah. Lembaga-lembaga internasionalpun meski merevisi tetap memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI di atas 5 persen.
Memang benar sepertinya ada gejala yang berulang tahun 2017 dengan kondisi sekarang dimana ada gejala masyarakat yang menahan belanja dan juga masalah pada daya beli masyarakat yang cukup stagnan.
Beberapa akibat diantaranya juga, meskipun inflasi tetap terjaga, tetapi ada beberapa hal yang memang turut mempengaruhi salah satunya adalah kondisi perekonomian global yang tidak menentu. Saat ini investor asingpun untuk melakukan investasi cenderung berjaga-jaga dan menahan uangnya.
Begitupula untuk masalah kredit dimana angka batas atas LDR/LFR sebetulnya sudah hampir mencapai batas yang ditetapkan oleh BI. Hal itu menandakana bahwa stimulus yang dilakukan oleh BI belum cukup berhasil untuk mendorong pertumbuhan kredit. Berarti ada masalah lain mengapa pertumbuhan kredit tidak sesuai yang diharapkan. Itu juga menandakan bahwa sektor riil masih menahan ekspansi.
Kita lihat juga bahwa perlambatan juga terjadi pada perekonomian dunia. Pada beberapa Negara seperti China yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen, yang merupakan penurunan terbesar selama 20 tahun terakhir. Inflasi China juga meningkat. Meski di Amerika Serikat (AS) belum terlihat gejolak, tetapi pada 2020 sepertinya AS Juga akan mengalami masalah perekonomian terutama dari sektor perdagangan.
Hal yang paling diresahkan sebelum menghadapi resesi sebetulnya adalah perlambatan ekonomi China itu sendiri. Hal mana akan berpengaruh kepada perdagangan di Indonesia. Saat ini China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia (15,7 persen). Kalau pertumbuhan ekonomi dan ekspor China juga melambat--ekspor China September 2019 turun 3,2 persen, impor 8,5 persen—kalau China melambat tentu saja permintaan kepada produk-produk Indonesia juga akan turun. Pada Januari – Agustus 2019 ekpor RI ke China senilai 45,9 miliar dolar AS. Banyak produk yang dibeli China adalah komoditas unggulan RI seperti CPO, batubara, besi baja dan bijih tembaga serta produk dari kayu. Hal itu semua akan berdampak pada turunnya nilai perdagangan RI apalagi perekonomian Indonesia selama ini memang “ditopang” oleh CPO.
Sementara produk CPO Indonesia telah sama-sama diketahui mempunyai banyak banyak masalah di luar seperti boikot, bea masuk yang ditinggikan dan sebagainya di beberapa Negara sehingga ekspor CPO RI turun, belum lagi harga internasional CPO juga ikut turun, maka sudah bisa dibayangkan jika ke depan China juga mungkin akan mengurangi pasokan CPO dari Indonesia, maka hal tersebut bisa mendorong melemahnya perekonomian RI.
Usulan untuk mengatasi persoalan pada risiko pelemahan perekonomian Indonesia masih ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, sektor Perdagangan dan kedua, Sektor Financial.
Jika dibandingkan dengan resesi sebelumnya (2008), maka ketika itu pengaruh resesi banyak dari sisi finansial. Hanya sekarang pelemahan banyak dari sektor perdagangan. Terlebih adanya perang dagang AS-China yang merupakan dua Negara mitra dagang terbesar Indonesia. Maka mau tidak mau sektor perdagangan luar negeri akan terpengaruh.
Ekspor sudah pasti akan terkena pengaruh, bahkan impor juga ikut kena karena 75 persen impor kita adalah untuk bahan baku dan penolong Industri dalam negeri. Kebetulan kebanyakan berasal dari China yang akan berpengaruh pada industri kita.
Di saat yang bersamaan di dalam negeri terjadi pelemahan daya beli.
Oleh karena itu, upaya lain seperti pertama, mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan baru dengan Negara tujuan ekspor non tradisonal masih bisa didorong.
Kedua, bagaimana kita bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Agak rumit, tetapi yang paling mudah dalam jangka pendek adalah memfungsikan bantuan sosial kepada masyarakat tidak mampu agar tetap menjaga daya beli masyarakat untuk menjaga tingkat konsumsi. Pada resesi 2008, salah satu faktor kunci yang ikut berperan dalam menjaga keselamatan ekonomi nasional ketika itu adalah pada tetap terjaganya tingkat konsumsi atau belanja masyarakat.
Seharusnya ke depan dua strategi itu yang bisa dilakukan untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi. (pso)
Tentang konsumsi terkait kenaikan jumlah simpanan masyarakat di bank bank nasional, maka jika ditinjau dari data pada kuartal III/2019 September, konsumsi masyarakat justru tumbuh 3,08 persen.
Jadi dari data kenaikan simpanan masyarakat di bank, kita tidak tahu pasti apakah memang terjadi penundaan konsumsi atau belanja masyarakat, sebab data menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat justru mengalami kenaikan.
Share kontribusi konsumsi terhadap PDB pun naik sebesar 0,01 persen atau naik dari 53,65 ke 53,66. Artinya, meskipun naik sedikit tetapi itu artinya terdapat peningkatkan konstribusi konsumsi terhadap PDB. Jadi dari sisi pertumbuhan maupun sisi kontribusi sama-sama menunjukkan peningkatan.
Hal itu menunjukkan bahwa dari sisi konsumsi rumah tangga tidak bermasalah. Hanya memang, ketika terjadi kondisi uncertainty atau ketidakpastian kondisi ekonomi seperti sekarang ini, terdapat kecenderungan wait and see dari masyarakat ataupun pelaku bisnis. Perlu ditelisik lagi, sikap wait and see itu berasal dari sektor rumah tangga ataukah dari sektor perusahaan.
Dilihat dari sektor rumah tangga, maka data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih tumbuh. Bahkan pertumbuhannya jauh lebih tinggi daripada kuartal I/2019 ataupun kuartal II/2019. Kuartal IV/2018 dibandingkan dengan kuartal I/2019 cuma tumbuh 0,05 persen. Kuartal II/2019 tumbuh sebesar 1,73 persen. Tapi sekarang kita bisa tumbuh sebesar 3,08 persen.
Jadi dengan demikian peningkatan dana di perbankan kecil kemungkinan bukan oleh karena penundaan konsumsi, tetapi bisa jadi karena perusahaan yang menunda untuk melakukan penambahan modal. Namun, jika dilihat dari sisi perusahaan ternyata data menunjukkan pertumbuhan yang positif. Angka PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) perusahaan masih menunjukkan peningkatan. PMTB masih tumbuh sebesar 5,52 persen pada kuartal III/2019.
Hal itu menunjukkan bahwa kalau dari sisi konsumsi masih ada pertumbuhan, begitupula dari sisi investasi, juga tumbuh. Kalau data masih menunjukkan pertumbuhan, maka sebenarnya masih ada potensi untuk meningkatkan konsumsi ataupun investasi tapi tidak dilakukan.
Hal itu mungkin disebabkan oleh kondisi yang masih tidak menentu, jadi akhirnya semua mengambil sikap wait and see. Terlebih bagi kelompok masyarakat menengeh ke atas, mereka akan spend untuk aktivitas investasi, menunda untuk menunggu kondisi yang lebih pasti.
Pengaruh perkiraan memburuknya perekonomian dunia pada 2020 lebih tergantung pada proses negosiasi dari perang dagang antara AS dan China. Kalau melihat kondisi global memang ada sinyal ke arah sana, tapi secara umum peningkatan DPK pada bank-bank nasional ada indikasi para pelaku usaha menunda spending ataupun investasi.
Meski jika dilihat data konsumsi masyarakat ataupun investasi perusahaan, sebetulnya masih punya potensi untuk tumbuh lebih besar.
Memang, jika kondisi menahan belanja dan investasi tetap seperti ini maka pertumbuhan ekonomi bisa jadi tidak seperti yang diharapkan. Meski data menunjukkan bahwa pada kuartal III/2019 dibandingkan dengan kuartal III/2018 (yoy) PDB masih tumbuh sebesar 5,02 persen.
Bayang-bayang ketidakpastian dari target pertumbuhan ekonomi pada 2019 memang masih terlihat. Capaian PDB 2019 mungkin tidak mencapai 5,3 persen, tetapi kecil kemungkinan di bawah 5 persen. (pso)