Sumber Foto: Youtube
27 September 2017 12:30Tindakan mengacung-acungkan senjata tajam kapak dan gergaji besi yang dilakukan MN di hadapan anak-anak saat menjalankan kewajiban beribadah dan berdoa bersama teman sebayanya merupakan tindak pidana kekerasan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia, apapun alasannya.
Apalagi dilakukan orang yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak. Itu merupakan tindakan sangat tidak terpuji dan melukai harkat dan martabat anak, membuat anak-anak trauma mendalam.
Hal itu juga tindakan pidana yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara kompromi dan damai. Tindakannya melanggar Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 200 yang telah diubah ke UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Apa yang dilakukan M sampai anak berteriak-teriak dan menjerit ketakutan dan minta tolong pada peristiwa itu dapat dipastikan anak trauma dan depresi berat. Dengan demikian tidak ada kata kompromi terhadap perlakuan ini. MN harus bertanggungjawab secara hukum sesuai dengan perbuatannya.
Untuk membantu dan memulihkan tingkat trauma dan depresi anak, serta untuk membantu proses penegakan hukum atas tindakan MN, Komnas Perlindungan Anak segera menurunkan tim relawan (staf pengaduan dan tim psikolog) bersama LPA DKI Jakarta dan pegiat perlindungan anak untuk memberikan pelayanan trauma healing kepada korban dan keluarga korban.
Sekali lagi tidak ada kata kompromi terhadap kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak. Beribadah adalah hak fundamental dan berlaku universal tanpa diskriminasi, yang oleh semua orang keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara mesti memberikan dan menjaga hak anak ini. (ade)
Insiden di rusun Pulogebang kemarin bisa dilihat dari kajian psikologis dan sosiologis. Ini sikap arogansi keagamaan. Jadi tidak semata-mata sikap radikal. Orang ini terganggu ada orang beribadah, padahal selama ini juga banyak orang menutup jalan, banyak orang teriak-teriak lima kali sehari, sampai mengganggu orang tidur. Bahkan Subuh sudah selesai, speaker masih bunyi. Terhadap hal itu, mereka diam saja. Lah, ini kok ada anak-anak beribadah emosinya langsung naik, seolah-olah terganggu.
Kalau dia merasa terganggu ada orang beribadah, kenapa dia tak terganggu oleh speaker yang tiap hari teriak-teriak itu?
Kejadian kemarin bukan semata persoalan agama, tapi persoalan sentimen dan labilitas seseorang. Rasa sentimen dan faktor kekurang-dewasaannya mengakibatkan ia bertindak seperti kemarin.
Ada beberapa hal kenapa ia melakukan ancaman kekerasan pada anak-anak yang beribadah kemarin. Pertama, bisa jadi ini paham keagamaan yang sempit dan dangkal. Dia cenderung memandang agama secara simbolik dan legal formal, sehingga sikap beragama tereduksi terhadap hal-hal itu. Kedua, faktor sosiologis. Bisa jadi ia tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan emosinya jadi labil.
Sebenarnya orang boleh ibadah di mana saja. Dan itu dilindungi undang-undang dasar kita: warga negara berhak menjalankan ibadahnya sesuai keyakinan masing-masing. Beribadah tak harus dilakukan di tempat ibadah. Kalau ada larangan beribadah di rumah tinggal, yang rugi pertama umat Islam. Bayangkan semuanya nanti harus dilakukan di masjid, tahlilan, yasinan, muludan harus di masjid.
Orang macam ini tak memikirkan aksi balasan. Di Jakarta, Islam mayoritas. Tapi di tempat lain tak selalu begitu. Makanya saya mengatakan orang ini pikirannya sempit dan dangkal. Ia hanya melihat dirinya saja. Pikirannya saja. Orang begini perlu dididik, pikirannya diperluas dan perlu pendalaman pemikiran agar tak dangkal dan sempit. (ade)