Sebelum ramainya komentar soal jilbab Ibu Ani Yudhoyono di media sosial, saya sudah mendengar sejumlah keluhan dari beberapa teman.
Mereka adalah muslimah tidak berjilbab yang mendapatkan "tekanan" ringan dari rekan-rekan di kantor karena tidak memakai jilbab.
Saya pribadi masih menganggap jilbab adalah kewajiban. Tapi, itu bukan berarti saya membenarkan tekanan itu. Meyakini suatu hal bukan berarti meminta orang lain juga meyakini hal yang sama.
Jadi, kalaupun kita menganggap jilbab wajib, kita punya cara yang simpatik agar orang lain mengerti keyakinan kita.
Selain itu, meyakinkan orang lain dengan cara yang agresif pada akhirnya tidak memberi manfaat untuk siapapun, termasuk untuk yang meyakini kewajiban berjilbab. Allah SWT dalam banyak ayat menegaskan cara-cara yang sangat bijak dalam berdakwah. Itulah yang harus kita lakukan. (ade)
Saya kurang tahu kalau sekarang ada yang merasa ditekan untuk berjilbab. Namun jumlah yang mengenakan jilbab atau yang sekarang disebut hijab memang tampak jauh lebih besar dibanding dahulu. Bahkan ada beberapa produk yang dulu tak menyentuh kaum jilbabers kini justru menyasarnya.
Tidak pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya mereka akan menggunakan perempuan berjilbab sebagai bintang iklannya. Hari ini malah mereka seolah merayakan itu.
Artinya, soal jilbab yang tampak jadi mayoritas ini karena ada dampak yang kuat juga dari industri fesyen. Malah orang yang berjilbab saat ini menjadikannya juga sebagai mode, selain pertimbangan syariahnya. Perempuan tetap ingin tampil cantik saat menggunakan jilbab. Saya suudzon-nya begitu.
Maka, dari sisi penggunaan jilbab karena alasan syariah, belum 100 persen dakwah jilbab berhasil. Karena alasan fesyen, mengikuti mode dan tren ikut mengemuka. Juga ada pula perempuan yang on/off pakai jilbab. Ketika pergi ke suatu acara (bernuansa keagamaan Islam) saja memakai, kali lain tidak.
Para aktivis dakwah punya standar penggunaan jilbab sendiri, menutup seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah, tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Beda dengan jilbab fesyen. Namun, fenomena jilbab dipakai mayoritas wanita ini tahapan yang bagus buat dakwah mereka. Paling tidak, orang sudah masuk ke satu fase menutup aurat.
Perlu diketahui, penggunaan simbol seperti jilbab ini tak hanya terjadi di perempuan. Di laki-laki muslim pun juga ada. Ketika ke Tanah Suci, Mekkah saya melihat orang Indonesia tampak berpakaian seperti orang Arab, Pakistan atau India. Saya menjadi minoritas ketika ke sana pakai sarung.
Kita memang masih menganggap simbol-simbol dalam berpakaian ini penting. Padahal, saya lihat, orang Turki lebih rileks. Saya pernah lihat ada orang Turki shalat di Masjidil Haram memakai jas.
Perlu diingat juga, kapitalisme selalu bermain di berbagai kesempatan. Ia akan selalu mendukung gejala baru, tak terkecuali fenomena maraknya jilbab, yang penting para kapitalis ini untung.
Sayangnya orang Indonesia kurang perhatian soal itu. Karena kita konsumen, kita bangsa yang gemar mengkonsumsi. Begitu ada perubahan tren, kita ikutan. Termasuk perubahan mode, kita anggap konsumsi baru yang perlu dikonsumsi.
Namun bila dikaitkan maraknya jilbab dengan apa kita sedang cari uniform identitas nasional baru, rasanya masih jauh. Menurut saya ini hanya fenomena di perkotaan dan Indonesia luas sekali. Di wilayah pelosok yang belum terjangkau televisi atau budaya konsumtif akibat iklan yang sangat masif, uniform atau busana lokal masih dipertahankan.
Yang patut dicatat di sini, kalaulah kita sedang mencari bentuk uniform (seragam) nasional baru lewat jilbab yang kini tampak mayoritas, itu gejala budaya yang alamiah. Asalkan, ketika uniform nasional itu diwujudkan hal tersebut tidak menjadi kewajiban bagi setiap orang mengenakannya. Tidak boleh ada tekanan untuk memakai uniform tersebut--apapun itu jenis busananya. (ade)
Pertama, menurut saya penting digarisbawahi bahwa kewajiban berjilbab itu masih menjadi perdebatan di kalangan ulama-ulama Islam terkemuka. Artinya pernyataan ‘dalam Islam berjilbab adalah suatu kewajiban’ itu saja sudah merupakan persoalan tersendiri, karena sadar atau tidak sadar telah menghilangkan nuansa perbedaan pemahaman tersebut.
Kenapa ini adalah persoalan? Sebab keyakinan bahwa hanya ada satu kepastian bahwa ‘Islam mewajibkan berjilbab’ membuat bagaimanapun berjilbab dianggap pasti lebih baik daripada tidak berjilbab.
Ini adalah persoalan paling mendasar. Semua anjuran, aturan, tekanan, teguran, lahir dari keyakinan ini, bahwa tidak ada kemungkinan lain, berjilbab pasti lebih baik dari pada tidak berjilbab.
Kita belum lagi masuk kepada persoalan tekanan untuk berjilbab.
Dalam perjalanannya di Indonesia, gagasan tentang jilbab juga sudah mengalami sejumlah transformasi, termasuk di dalamnya adalah gagasan tentang perempuan yang berjilbab dan tidak berjilbab ikut mengalami negosiasi di dalam proses tersebut. Ada fase di tahun 2000-an di mana industri fesyen jilbab sangat ramai dengan berbagai model penutup kepala dan pakaian.
Namun jika kita perhatikan, tren itu kini telah bergeser, dalam berjilbab mulai muncul ‘kasta’. Ada jilbab biasa, ada jilbab syarí yang lebih panjang. Lalu setelah beberapa waktu, jilbab syarí kemudian tidak cukup lagi, lalu muncullah tren menutup wajah atau niqab yang saat ini diartikulasikan dengan istilah ‘hijrah.’
Maka saya mulai melihat teman-teman saya yang berjilbab ‘biasa’ kemudian seperti merasa ‘kurang cukup’dengan jilbabnya. Mereka mulai menyatakan sesuatu seperti, ‘semoga suatu hari nanti saya siap hijrah’ dan yang dimaksudkan dengan ‘hijrah ‘di sini adalah siap untuk lebih menutup tubuh dan wajahnya alias berniqab.
Pembedaan perempuan yang didasarkan pada pakaiannya pun menjadi semakin kompleks di sini, dan semakin merugikan perempuan. Moral dan kualitas keimanan perempuan lagi-lagi hanya disandarkan kepada seberapa panjang dan tertutup pakaiannya. Kepada seberapa banyak bagian tubuhnya yang boleh terbuka.
Landasan berpikir seperti ini, jika kita runut dengan teliti memiliki jalur berpikir yang sama dengan kenyataan bahwa perempuan masih selalu disalahkan jika menjadi korban pelecehan dan kejahatan seksual dalam berbagai bentuk. Landasan berpikir ini berada dalam jalur yang sama dengan mereka yang mengobjektifikasi perempuan seperti ustad yang menyamakan perempuan tak berjilbab setara lollipop yang terbuka.
Saat ini, muslimah yang tidak berjilbab memang kerap mendapat tekanan sosial dalam berbagai bentuk dari yang halus (kamu lebih cantik lho kalau berjilbab) hingga yang mengancam (nanti saja berjilbab, neraka masih luas kok).
Saya juga pernah mendengar kisah beberapa teman yang mengalami hambatan dalam kariernya karena tidak berjilbab. Perempuan yang tidak berjilbab akan selalu cenderung diarah-arahkan untuk ‘menjadi lebih baik’ dan itu hampir selalu harus ditunjukkan dengan mengenakan jilbab, bagaimana pun bentuknya.
Jadi sebelum kita masuk kepada persoalan represi kepada perempuan untuk mengenakan jilbab, saya justru ingin menggali persoalan yang menjadi akarnya terlebih dulu, yang saat ini seolah menjadi satu-satunya kebenaran yaitu keyakinan bahwa berjilbab adalah kewajiban dalam Islam. JIlbab bukan perdebatan baru dalam Islam, tapi tidak semua pihak –bahkan yang menempatkan diri sebagai Muslim moderat pun – mau terbuka pada kemungkinan penafsiran berbeda. (ade)