Sumber Foto: IndoProgress (gie/Watyutink.com)
06 April 2018 16:00Ledakan populasi penduduk dunia hingga mencapai 8 miliar pada 2017 tidak diikuti dengan penambahan jumlah daratan di mana manusia tinggal hidup di atasnya.
Kebutuhan hidup 8 miliar penduduk dunia akan sandang, pangan, papan, dan energi menjadi suatu keniscayaan yang tak terhindarkan. Sementara di sisi lain alam dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sangat terbatas dan tidak bisa diperbarui.
Belum lagi pola sebaran potensi alam dengan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak merata dan hanya berpusat di wilayah ekuator meliputi Indonesia, sebagian wilayah Afrika dan Amerika Latin yang bercurah hujan sepanjang tahun dengan dua musim sebagai pusat hutan hujan (rainforest) yang menjadi paru-paru dunia.
Dalam konteks Indonesia, selain rainforest dengan keanekaragaman hayati, dibanding Afrika dan Amerika Latin, Indonesia memiliki keunggulan sebagai wilayah ring of fire yang dipenuhi oleh gunung gunung berapi aktif yang menghasilkan keanekaragaman kandungan deposit kekayaan mineral dengan kualitas terbaik di dunia.
Dari paparan di atas terlihat bagaimana potensi kekayaan alam, alih-alih menjadi kekuatan malah justru menjadi kelemahan, juga bukan menjadi peluang namun malah menjadi ancaman bagi keberlangsungan perikehidupan bertanah air, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konstalasi geopolitik internasional dan persaingan global, wilayah Indonesia menjadi wilayah yang sexy untuk diperebutkan oleh negara negara lain yang berkepentingan untuk bisa bertahan dalam konteks survival of the fittest.
Pemahaman akan peta masalah tersebut di atas, akhirnya menjadi dasar untuk menelisik dan menguak apa yang sesungguhnya terjadi di balik maraknya peredaran narkoba yang meracuni generasi muda.
Bukan lagi rahasia, di sejumlah negara, narkoba diposisikan sebagai alutsista (alat utama sistem pertahanan-senjata) dari Perang Generasi Keempat yang dilakukan secara asymetric melalui proxy untuk menguasai suatu wilayah. Sejarah telah mencatat bagaimana Hongkong jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1842 melalui Perang Opium.
Upaya pelemahan bahkan proses genosida tengah berlangsung di negeri ini dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya demi sebesar-besarnya penguasaan alam dengan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Maraknya penggunaan narkoba yang melanda generasi muda mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas hidup yang mengancam mandeknya kemerdekaan nalar dan kewarasan akal sehat pada generasi muda sehingga dengan mudah didorong untuk terjadinya konflik horisontal melaui isu SARA dan kesenjangan ekonomi.
Maka tak heran jika saat ini kita melihat bagaimana kampus kehilangan sikap kritisnya, mahasiswa terjebak pada pragmatisme sehingga kehilangan daya laku dan daya guna dari intelektualitasnya.
Ironisnya, semua elite politik terbutakan matanya dan malah asyik sibuk berebut kekuasaan tanpa peduli kelangsungan masa depan hidup bertanah air, berbangsa, dan bernegara.
Itulah akhir dari nasib suatu bangsa ketika negeri telah terjajah oleh negara! (ast)
Banyak pandangan melihat situasi saat ini seperti demikan. Ada kelompok-kelompok tertentu yang melemahkan lawan dengan bermacam-macam cara, salah satunya dengan narkoba. Namun penyalahgunaan narkoba itu ada di seluruh institusi, baik di intitusi pendidikan, institusi pemerintah bahkan di institusi negara pun ada.
Saya melihat bahwa kalau dikaitkan dengan institusi pendidikan dalam hal ini kampus, penyalahgunaan narkoba lebih kental kepada persoalan individu. Tidak bisa digeneralisir bahwa kampus itu dulu kritis terhadap rezim masa lalu (Orba) atau rezim yang sekarang ada. Rezim masa lalu itu sudah berlalu pasca reformasi. Kalaupun yang dihajar institusi, tapi persoalannya sudah berbeda-beda. Tetap saja, persoalan kembali ke individu masing-masing.
Kalau kita bicara gerakan mahasiswa, terlihat perbedaan antara gerakan mahasiswa sekarang dengan masa lalu. Sekarang ini kan gerakan mahasiswa cenderung mati suri. Jadi dengan keadaan mati suri ini mungkin ada pihak-pihak yang berfikir sekalian saja benar-benar dimatikan. Dimatikan dengan berbagai cara, seperti; dimunculkannya isu-isu, instansinya dilemahkan, dan lain-lain. Sehingga orang tidak lagi melihat kampus-kampus yang notabene-nya pada masa lalu adalah kampus-kampus pergerakan. Hal ini mungkin saja terjadi.
Saya melihat upaya pelemahan itu dilakukan secara sistemik. Namun semua tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Apalagi kita sebagai mantan aktivis, dan kini dipercayakan untuk sama-sama mengelola kampus. Oleh karena itu kita harus mengantisipasi itu. Apakah pelemahan itu dengan cara-cara yang telah sengaja mereka rancang atau sebagai sebuah kebetulan, kan bisa saja terjadi.
Kampus-kampus lain juga harus mengantisipasi, jangan sampai terlena dan jumawa dengan kebesaran masa lalu. Jangankan kampus-kampus yang anti terhadap rezim, kampus lain pun kalau memang mau dilemahkan dengan cara apapun bisa saja dilakukan. Arti nya kalau memang diperlukan, kita harus proteksi diri masing-masing kampus. (ast)
Siapa bilang gerakan mahasiswa melemah? Tidak kok. Adik-adik kita tetap membangun kekuatannya. Mereka terus berkumpul dan menjalankan fungsinya dalam berbagai hal. Justru mahasiswa cerdas dalam menilai persoalan besar bangsa ini. Saya sering berkumpul dengan adik-adik mahasiswa. Bahkan akhir pekan saya menghadiri konsolidasi besar mereka di Banten.
Mereka tetap tetap kritis terhadap penguasa. Menurut saya gerakan mahasiswa memang seharusnya tidak hanya menjadi gerakan kritis yang sangat keras ke presiden. Jangan karena berdemonstrasi besar di istana langsung mengklaim sebagai gerakan mahasiswa yang paling kritis.
Gerakan mahasiswa (GM) bisa disebut kritis jika :
1. GM menjadi gerakan kebangsaan. Mereka harus menjaga NKRI dengan segala konsuekensi dan resikonya. Ini sudah dilakukan, ketika mreka berkumpul dalam jumlah ratusan ribu di berbagai daerah pada 28 oktober lalu.
2. GM harus menjadi gerakan advokasi rakyat. Ini masih dilakukan oleh mahasiswa yang bergabung dalam kesatuan kesatuan aksi. Tidak tahu dengan BEM?
3. GM harus menjadi gerakan intelektual, ini berjalan baik
4. GM harus menjadi gerakan pro-rakyat. Masih juga, mereka tanggap dengan isu-isu lokal
5. GM harus jadi gerakan aksi massa. Nah ini yang masih jadi persoalan, mereka masih kesulitan mengkonsolidasikan massa sejawatnya.
Jadi tuduhan dilemahkan secara sistimatis tidak ada, yang terjadi GM gagal mengkonsolidasikan diri mereka. Mereka juga tidak punya isu bersama. Di sebelah sana ada yang teriak-teriak dengan isu khilafah, sebelah sini lantang dengan isu anti pemerintah terus. Di tempat lain tidak kalah besarnya, ada GM yang konsen menjaga NKRI dan Pancasila.
Apakah mahasiswa terkotak-kotak? Iya. Namun apakah mereka melemah? Tidak. Ini merupakan bagian dari dinamika. Jika saatnya ada musuh bersama yang sangat besar, pasti semua kelompok mahasiswa dari berbagai ideologi akan menyatu.
Pasti saatnya tiba? Kalau sekarang kan justru sebaliknya pemerintahan Jokowi cukup fight dalam memajukan pembangunan. Banyak yang bisa diceritakan dari keberhasilan Jokowi. Beliau juga demokrat, mau mendengar. Meski begitu GM sah-sah saja kritis, tetapi DPR dan parpol oposisi yang hanya menghujat saja juga wajib dikritisi. (ast)
Saya melihatnya salah satu yang harus dan perlu untuk dibangun dengan kuat adalah kultur universiter di kampus. Kultur ini yang mengantar mahasiswi/ mahasiswa, dosen-dosen, dan para administratur kampus tidak lain kerjanya melahirkan ilmu pengetahuan. Jika ini yang dibangun, besar kemungkinan persoalan narkoba atau lainnya yang bukan unsur kultur universiter sulit masuk ke kampus.
Relasi antar dosen-mahasiswa, dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswa harus bertumpu pada pengembangan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Bukan karena sekadar untuk memperoleh nilai pada sisi si mahasiswa, dan pada sisi dosen bukan sekadar mencari kum untuk kenaikan pangkat akademik semata.
Cara menumbuhkan relasi tersebut di kampus antara lain; dengan diskusi-diskusi yang mendalam mengenai teori-teori. Diskusi-diskusi seperti itu sebaiknya dilakukan di laboratorium-laboratorium yang dipimpin seorang profesor. Sehingga tercipta relasi antara dosen dengan mahasiswa yang lebih dari sekadar mencari nilai atau kenaikan pangkat saja.
Saya melihat Laboratorium Sosiologi UI sangat hidup. Saya mengikuti Klaster Pendidikan Transformatif yang berada dalam Lab. Sosiologi UI. Melakukan diskusi-diskusi baik yang tertutup maupun terbuka. Diskusi-diskusi selalu diikuti mahasiswi/mahasiswa. Bahkan hasil temuan mahasiswi/ mahasiswa (skripsi) didiskusikan di klaster itu. Motor klaster pendidikan transformatif, antara lain; Profesor Kamanto, Mbak Lucia (biasa dipanggi Ateh), Mbak Ira Pattinasarani. Mereka dosen Sosiologi Pendidikan. Baik jika diskusi-diskusi di lab semacam ini diikuti oleh kampus lain. (ast)

Proses pelemahan daya nalar, daya kritis, juga mental dan karakter banyak mahasiswa di banyak tempat berlangsung sistemik lewat desain asing, yang saya pikir tujuannya jelas; membonsai pertumbuhan kualitas dan karakter SDM generasi penerus bangsa kaya sumber daya alamnya ini ke titik yang terus-menerus rendah sehingga bisa langgeng menjadi pasar, penyedia tenaga kerja murah sekaligus wilayah jarahan bagi kepentingan skema "whole system" kaum kapitalis internasional beserta para operator binaannya yakni para komprador dalam negeri.
Sebenarnya proses melemahkan kualitas dan karakter para pelajar dan mahasiswa kita oleh bangsa asing dan kaum kapitalis berjalan seiring dengan proses pelemahan segala sendi kehidupan bangsa ini lewat cara-cara yang "sofisticated" yang berjalan simultan, dengan melancarkan strategi invasi 7F. Yakni films, fashion, fantasy, finance, food, faith, dan friction.
Lewat film dipromosikanlah nilai-nilai tak berakar pada kepribadian bangsa kita agar dianut. Lewat fashion dicekokilah segala macam tren "gaya hidup" dan "hidup yang bergaya" yang sebenarnya bersifat "casing" namun jika tak diikuti seakan bakal "mati gaya" dan dunia bakal runtuh.
Fantasi-fantasi palsu yang mengandung daya rusak yang amat dasyat dirangsang melalui medium narkoba maupun narkolema (narkotika lewat mata) berupa kontens-kontens internet maupun game-game berunsur kekerasan maupun kekonyolan-kekonyolan yang mendungukan.
Dengan kekuatan "finance", dipasanglah jerat hutang untuk menciptakan ketergantungan permanen dan situasi "kerbau dicucuk hidungnya" bagi bangsa kita. Melalui "finance" pula didoronglah privatisasi segala sektor strategis kehidupan yang berdampak pada mahalnya harga-harga kebutuhan, tak terkecuali di sektor pendidikan tinggi dimana hanya keluarga kaya saja yang bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Strategi "food" menyasar pada menghancurkan potensi kedaulatan dan ketahanan pangan bangsa kita.
"Faith" atau paham-paham maupun keyakinan-keyakinan yang menyesatkan sengaja disebar, seperti paham konservatisme agama yang jumud dan intoleran, liberalisme keagamaan yang kebablasan dan serba-boleh, paham orientasi seks menyimpang, dan sebagainya.
Dan penciptaan "friction" lewat pemberlakuan sistim politik liberal, produksi hoaks terus-menerus sehingga masyarakat mengalami keterbelahan, dan sebagainya.
Semua itu--menurut saya yang pernah menjadi bagian aktivis 98 dari kampus Untag 1945 Jakarta, tidak bisa tidak, bahwa segenap elemen progresif yang tersisa di masyarakat dan di kampus-kampus, perlu memperhebat konsolidasi guna menyusun strategi dan langkah konkrit bersama guna menahan laju sekaligus membalikkan keadaan dari kemerosotan daya nalar, daya kritis, mental, dan karakter mahasiswa, terlebih di kampus-kampus yang sebelumnya memiliki tradisi kritis yang kuat. (ast)